Rabu, 03 Oktober 2018

CARA ALLAH

Temukan saya di wattpad!

"Pergi kau dari rumah ini!" wanita paruh baya itu mengusirku. Dia Ibuku, yah tentu saja kandung.

Aku bergeming lalu menyunggih senyum disudut bibir, tanpa sepengetahuan Ibu tentunya. Deretan kalimat yang sudah aku tunggu lama sekali.

Lalu aku yang sedang berdiri di pintu samping rumah dengan tangan kanan yang menyelusup didalam kantung kembali ke kamar namun Ibu menghadangku. Seakan waktu itu berjalan slow motion, aku melihat tangannya melayang kearah pipiku. Aku tidak berniat mengelak, aku hanya menarik kepalaku ke belakang untuk meminimalisir rasa sakitnya. Karena jika tamparan itu mengenai telingaku, mungkin sakitnya akan dua kali lipat atau fatalnya aku tidak bisa mendengar. Yah, aku punya penyakit di telinga, yang terkadang terasa sangat sakit sampai aku tak bisa mendengar dengan jelas atau fokus.

Tidak ada yang tahu, hanya aku dan sekarang, siapapun yang membacanya, sudah jelas mengetahuinya.

Ibu mungkin geram karena tak berhasil menamparku dengan tepat, lalu dia duduk dan menangis sementara aku berjalan ke kamarku dan duduk bersandar di lemari.

"Kau sudah menyusahkanku sejak kau kecil, pergilah sekarang juga. Aku tidak mau melihatmu lagi." kata Ibu.

Memoriku kembali ke masa dulu, masa dimana aku harus tinggal kesana kemari. Terkadang di rumah nenek dari Ayah, kadang rumah uwak, rumah nenek dari Ibu. Lalu dimana letak masa kecilku yang menyusahkanmu Ibu? Waktu itu kau mengurus ladang di Pekanbaru sementara aku tinggal di Medan.

Aku ingin bertanya seperti itu, tapi aku yakin jika aku berbicara sedikit saja, air mata ini takkan terbendung. Ya, aku tidak ingin menangis. Tidak ada alasan untuk itu, yang jelas bukan untuk terlihat kuat. Tapi mungkin saja karena aku sudah terlalu banyak menangis sebelumnya.

Ada banyak hal yang Ibu bicarakan, termasuk tentang perhatianku padanya, tentang pengertianku dan juga hal lainnya sampai aku lupa.

Apa caraku mengerti Ibu salah? Apa perhatianku kurang?

Mungkin sebagian orang menilai aku banyak bicara, banyak tertawa, orang yang bahagianya tidak pernah putus, sebagian lagi menganggap aku biasa saja. Akan tetapi, dirumah aku adalah orang yang dingin. Aku jarang tertawa, jarang bicara hingga banyak orang takut melihatku, takut berbicara saat didepanku.

Meskipun begitu, aku tak pernah merasa bahwa aku tidak pengertian seperti yang Ibu bilang.

Ketika situasi mulai mereda, aku dengan cepat menyusun baju-bajuku kedalam tas ransel milikku. Ijazah, KTP, piagam penghargaan, fotokopi akte lahir, semua persiapan melamar kerja aku susun rapi juga. Disinilah, disini air mataku mulai membasahi kertas-kertas itu. Menangis tanpa suara jauh lebih sakit ternyata.

Aku hanya teringat teman-temanku di kampus juga temanku di klub. Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka? Bagaimana jika mereka melupakan aku? Erni, Widia, Yuda, Bg Luis, Tomi... Bang Bagus, Fahmi, Raihan, Jeff. Astaga, aku tak dapat menulis semuanya. Hanya saja, senyum mereka memenuhi bayanganku, seakan setiap jatuhnya air mata adalah ucapan rindu.

Selama ini aku berusaha agar tidak menjadi diriku yang dingin, berusaha mewarnai persahabatan ini dengan bahagia dan tawa yang aku buat. Saat suatu saat aku pergi meninggalkan mereka, mereka tahu caranya bahagia tanpa aku, tahu caranya menjadi periang saat hati mulai sendu.

Lalu aku berhasil? Entahlah.

Hari itu aku menghubungi semua temanku, menanyakan pekerjaan, indekos, dan banyak hal. Tapi terakhir, Jeff menjemputku di kota. Aku mengenakan kaos putih dengan topi hitam juga kacamata untuk menutupi mata yang sembab. Jeff tidak terlalu memperhatikan wajahku, dia mungkin mengerti.

"Kau sudah makan?" tanya Jeff.

Aku tersenyum terlebih dahulu, untuk menetralisir rasa pedih di hatiku yang rasanya sudah di telak. "Hehe, sudah..."

Berusaha menarik nafas panjang, merasakan angin yang menerpa tubuhku sore itu.

Tangisku pecah, dalam dekapan senja. Entah apa yang aku rindukan, entah apa yang aku ingin sampaikan. Kepada bias cahaya yang dalam hitungan detik akan redup lalu berganti kelam yang lebam.

"Tia?"

Panggilan itu membuyarkan lamunan kecilku. Suara berat yang berasal dari pria yang tengah memboncengku saat itu. Lalu kupejamkan mata yang bulir air matanya sudah tak dapat ku bendung.

Aku tak menjawab.

"Kuliahmu? Bagaimana?" nadanya tenang.

Percayalah, aku tengah menahan suara agar tidak terdengar bergetar saat menjawabnya. Dan lagi-lagi aku bungkam sambil terus memandang pepohonan yang kami lewati.

"Lancar?" tanyanya kembali.

Air mataku menuruni pipi dengan bebas, kemudian angin menghapusnya.

Aku tersenyum dan gigiku menggeletuk, menahan rasa pilu. "Emm iya. Lancar..." jawabku akhirnya.

Lalu pria itu tertawa kecil mendengar jawabanku. "Aku bahagia setiap kali melewati jalan ini."

"Kenapa?"

"Aku merasa tenang, damai..." jawabnya sambil terus memacu laju motor tuanya.

Aku diam. Lalu kulihat sekeliling. Hanya ada pepohonan dengan daun kering dibawahnya, rerumputan hijau dipinggir jalan, dan matahari yang sudah mulai turun, memancarkan sinar berwarna kuning terang di hamparan langit yang luasnya sejauh mata melihat.

"Sebenarnya kita harus bersyukur, untuk segala hal yang kita dapat. Karena belum tentu orang diluar sana bisa menikmati senja seperti kita saat ini. Mereka masih asik bergelut dengan pekerjaan mereka sampai matahari tenggelam."

Aku mengangguk pelan.

"Alam telah memberi kita ketenangan, tapi karena suatu masalah, kita lupa akan itu."

Aku menyeka air mataku dengan tangan kiri. Lalu aku tersenyum. Saat itu, entah Jeff sedang menyinggungku atau hanya sedang ingin berbicara seperti itu, entahlah.

Sesampainya di rumah Bang Bagus, aku lihat teman klubku sudah berkumpul. Tidak sedang menyambutku memang, hanya sedang berkumpul saja.

Aku kemudian tinggal beberapa hari di rumah Bang Bagus, lalu menjatuhkan lamaran di satu supermarket melalui teman kampusku yang juga bekerja disana. Dan jika tanpa bantuan Raihan, mungkin aku sudah lelah kesana kemari mengurus berkas.

Aku menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan selama beberapa hari, dan kala itu aku teringat. Aku meninggalkan sesuatu di rumah dan aku meminta bantuan temanku untuk mengambilnya melalui adikku tanpa sepengetahuan Ibu.

Singkat cerita, ia membawakan semua yang aku butuhkan. Dan ketika aku akan pergi, Yani menahanku.

"Ada yang ingin bertemu denganmu" Yani menatapku.

"Siapa?" Aku tengah menduga siapa orangnya.

"Sudahlah, temui dulu."

Aku merasa dikhianati oleh Yani karena telah memberitahu keberadaanku.

"Ayah?" Lirihku dengan hampir menjatuhkan air mata. Paling tidak bisa aku terlihat menangis didepan temanku, aku tidak ingin berbagi cerita pedihku. Untung saja hujan, dan wajahku memang sudah basah.

Yani mengangguk setelah pertanyaanku.

Aku bungkam. Lalu Yani memberitahuku dimana Ayah berada dan tanpa jeda aku melangkah menemuinya. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin kembali ke rumah, aku tidak ingin bertemu Ibu.

Lalu kulihat seseorang duduk di trotoar dengan tas ransel yang ia dekap di dada. Ia mengenakan topi dan juga kemeja tipis.

Yani berhenti melangkah ketika aku berlari memeluk Ayah. Lalu Ayah mencium keningku. Nyaris aku tak dapat bicara. Tak sampai hati aku mengatakan hal yang sudah aku susun tadi.

Tapi, aku tidak ingin perasaan ini menguasai diriku. Aku melepas pelukannya, dan duduk tegap.

"Kakak tidak akan pulang ke rumah, Kakak sudah kost sekarang. Kakak tidak mau bertemu Ibu." jelasku.

"Iya." lirihnya pelan.

Satu kata itu yang membuat hati ini kembali terenyuh.

"Ini, Ayah bawakan kue kesukaan Kakak." sambil mengeluarkan bungkus-bungkus roti yang ia ikat sendiri. Aku melihat ikatannya yang tidak rapi. Dia seorang Ayah bukan? Yang nyaris tak pernah mengurus dirinya sendiri, apalagi mengikat berbungkus-bungkus kue untuk anak gadisnya?

Oh Tuhaaaan, hati ini semakin sakit rasanya.

Hal yang ingin aku katakan. "Terimakasih Yah."

Tapi anggap itu adalah khayalan, karena aku tidak mengucapkannya.

"Pulanglah..." kata Ayah.

Aku menggeleng.

"Adikmu tidak ingin ikut jalan-jalan kalau tidak ada Kakak. Dia juga tidak ingin berbicara pada kami semua." jelasnya.

Entah bagaimana, aku terus mencoba mencari alasan agar aku tidak pulang. Tapi rasa ini begitu rindu. Aku memilih pulang, tapi tidak dengan bertemu Ibu. Aku tidur di rumah Nenek.

Lalu esoknya aku pergi ke Mickey Holiday dengan adikku, sementara keluargaku yang lain ke tempat destinasi lain.

Sebelum pergi, tentunya aku harus ganti baju di rumah. Lalu aku pulang. Kulihat sekilas Ibu yang duduk diteras rumah, baru saja ia pulang dari ladang.

"Kakak masih marah?" Ibu bertanya kepadaku namun aku hanya melintas begitu saja.

Nyatanya aku tidak marah, tidak juga benci dan tidak dendam. Kalaupun marah, akan lebih pantas aku marah kepada diri sendiri yang sudah sebesar ini belum mampu membahagiakan Ibu. Aku hanya tahu diri, sebagai orang yang sudah diusir dari rumah ini.

Lalu saat tengah liburan, sepanjang hari aku hanya melihat senyum Adikku. Bagaimana bisa aku meninggalkannya? Begitu tidak bertanggungjawabnya kakak sepertiku. Yang membuat kagum adiknya dengan semua hal yang aku dapat dari luar sana, sampai ia bermimpi suatu saat akan mencobanya dan menjadi sepertiku.

Oh tidak adikku. Jangan menjadi seperti aku yang terlihat bahagia tetapi tidak. Bahagialah tanpa harus berbohong bahwa kau sedang bahagia, bahagialah....

Aku teringat diarynya yang kutemukan dibawah bantalnya. Tentang bahagianya ia memiliki kakak sepertiku, tentang kagumnya dia pada semua teman yang aku miliki, tentang betapa indahnya jika dunia ini ia pijak bersamaku, tentang mimpi yang ia ingin gapai bersamaku.

Aku memang tidak pernah, mengucap sayang kepada Ibu,mengucap rindu apalagi. Tapi, aku selalu bilang kepada adik-adikku, "Dik, jaga Ibu. Jangan buat Ibu marah."

Itu juga yang aku pesankan kali ini kepadanya saat kami berdua duduk dirumah pohon di Funland Mickey Holiday, menikmati angin dan juga mengurangi lelahnya setelah bermain bersama.

Ia yang waktu itu sedang tidur disampingku hanya bergeming. Aku tak terlalu peduli ia dengar atau tidak. Karena aku yakin, keinginan dia membahagiakan Ibu nyatanya lebih besar.

Aku teringat, betapa bahagianya Ibu ketika ia tahu Riza (adikku) membelikannya baju dengan uang jajannya yang ia tabung. Yakinlah, aku merasa kecil waktu itu. Tapi percayalah aku tidak iri. Wajar bila Riza lebih diperhatikan atau lebih di sayang, wajar bila Ibuku bilang Rizalah yang mengerti dia daripada aku. Aku bahagia ada seseorang yang bisa membuat Ibu bahagia.

Dan, hari ini aku berpikir akan menulis cerita ini nantinya. Hari ini, tepatnya 16 Juli 2018 di ketinggian 2457 mdpl Gunung Sibuatan, aku merasa rindu masakan Ibu.

"Kemarin, aku ingin cepat-cepat pulang. Tentunya untuk kasur yang empuk, makanan yang matang dan nyaman yang awet.

Tetapi 3 hari setelahnya? Aku mulai kalut. Gunung membuatku merindunya. Rimba memanggil penjelajahnya.

Oh ternyata ini yang membuat pendaki mencintai puncak.

Alam mampu membuat kita menjadi perindu kebebasan sejati, keharmonisan yang tidak bisa kita dapat dari manusia. Mungkin ini juga alasan mengapa pendaki yang aku temui menggambar senyum yang lebar dan tak kenal lelah meskipun aku tahu diluar sana mereka seperti apa. Mereka punya masalah, lalu kita?

Ya kita juga.

Tapi entah mengapa ketika beberapa orang bercerita tentang dirinya, aku merasa lebih baik. Kenapa? Karena masalahku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Bersyukur untuk setiap inci kebahagian yang aku terima, setiap hembusan nafas yang masih terasa nikmatnya, setiap rasa tenang yang aku dapatkan, setiap canda yang orang-orang berikan.

Untuk bahagia itu takdir, tetapi untuk merasa bahagia itu pilihan."

Kalimat itu mungkin yang mampu mewakili penyesalanku. Dan seharusnya kalian tahu, aku tidak lebih baik dari apa yang aku katakan.

Dan yang sekarang terjadi, aku hanya akan menjalaninya sepenuh hati. Aku mulai membawakan oleh-oleh ketika pulang dari indekos dan hubunganku dengan Ibu menjadi lebih baik.

Toh, bahagia itu pilihan, kan?

"Cara Allah itu lebih banyak dari yang kita duga. Tidak ada yang mustahil ketika kita bergantung pada-Nya. Tentunya kalian tahu ketika kalian berani sadar diri. Seberapa banyak hal telah kalian lakukan agar mereka yang kalian sayang tidak pergi. Allah tahu cara mendekatkan dua hati kembali tanpa dua hati tersebut tahu mereka telah kembali."

20 Sepetember 2018