17 Agustus 2016
Sosok yang sangat kuat di mata
anak-anaknya, sosok yang keras dan memikul beban paling berat di keluarga ini.
Bapak. Orang yang kami panggil dengan sebutan Bapak adalah seseorang yang
sebenarnya kami sangat sayangi. Dia harus berangkat pagi dan sore untuk
menderes pohon enau demi membiayai segala keperluan rumah tangga dan sekolah
kami anak-anaknya. Bapak adalah orang yang sangat keras dan sangat kami hormati
juga kami takuti di rumah ini. Tapi, aku tak menyangka Bapak yang ku kenal
keras ini bisa menangis.
Sewaktu aku masih duduk di kelas 3 SMA, Bapak dan Mamak
menungguku pulang sekolah di indekos dengan tujuan mengunjungiku. Handphone
yang aku bawa saat itu dalam posisi mode diam. Bertepatan aku sedang ada tugas
kelompok, aku pulang agak sore sekira jam setengah empat. Setelah pulang
mengerjakan tugas kelompok, dijalan pulang aku membuka hp ku dan aku melihat
ada 12 panggilan tak terjawab dari Bapak. Tepat didepan gerbang, saat itu Bapak
meneleponku. “Ngapainnya kau kok lama kali pulang? Uda dari tadi pagi kami
nunggu-nunggu kau pulang sekolah. Ditelepon bukannya diangkat!!”. Entah setan
apa yang merasuki pikiranku waktu itu, aku menjawab Bapak dengan nada tidak
sopan. “Aku baru pulang sekolah lo Pak! Tadi kami ada tugas kelompok!! Aku gak
tau ada telpon karna hpnya....”
Ttutt ttuut ttuuut, panggilan diputuskan oleh Bapak. Saat itu, aku merasa sangat benci pada
Bapak. Aku berpikir Bapak tidak pernah mengerti aku, dia hanya tahu memarahi,
membentak, dan memukulku dengan begitu teganya. Aku sungguh tiada arti
dimatanya, bahkan selama ini aku belajar keras untuk Bapak, agar Bapak bisa
senang melihatku juara. Sekali lagi aku mencaci Bapak dalam hatiku karena
merasa perjuanganku selama sekolah disia-siakan olehnya.
“Belajar yang betul, biar
pinter dapat juara”, kata Bapak sewaktu dulu membimbingku belajar. Jika aku
tidak belajar dia akan memukulku, jika aku menangis waktu belajar dia juga
memukulku. Terakhir dia memukulku sewaktu aku pergi malam-malam dengan pacarku,
ketika itu aku masih berada dikelas 3 SMP. Bukan karena diajak pacarku Bapak
marah, dia tahu pacarku orang yang baik, tetapi karena aku pergi bersama
sepupuku.Sepupuku perempuan nakal, dia berani kesana-kemari bersama lelaki,
karena hal itulah Bapak marah kepadaku dan menghajarku.
“Berapakali Bapak bilang,
jangan main sama Winda. Pergi malam-malam, gak tahu kemana. Mau jadi apa?!
Hah?! Mau jadi apa kau?!” begitulah Bapak memarahiku sambil memukulku dengan
ranting bunga raya. Mamak hanya bisa memelukku sambil bilang “Udalah Pak udah”.
Meski begitu aku tak berani
menangis dihadapan Bapak, semakin aku menangis semakin kuat pula Bapak
memukulku. Kaki dan punggungku merah-merah akibat tebasan ranting bunga raya.
Mamak menuntunku berbaring dikamar lalu dia memelukku, saat itulah aku menangis
sampai terisak. Mamak pun mengolesi kaki dan punggungku dengan minyak. Itulah
terakhir Bapak memukulku, mulai kelas 1 SMK Bapak hanya memarahiku dan tak
pernah pula Bapak membentakku.
Setiap Sabtu aku pulang ke
rumah dan setiap hari Minggu aku kembali lagi ke indekos. Setelah kejadian
Bapak dan Mamak mengunjungiku, pulanglah aku di hari Sabtu. Di rumah, Mamak
menceritakan yang terjadi hari itu. Mamak bilang sudah dari pagi Bapak dan
Mamak menungguku di indekos, dan karena menungguku mereka melewatkan makan
siang mereka. Bapak meneleponku berulang-ulang tetapi tidak ada jawaban. Mamak
juga bilang, bahwa mereka rindu padaku karena aku tidak pulang minggu kemarin
dan mengunjungiku tanpa sepengetahuanku. Tapi ternyata mereka tidak bertemu
denganku.
Hari itu mereka merasa sangat tersakiti, belum lagi ketika aku di
telepon membentak Bapak. Kata Mamak, Bapak menangis selesai meneleponku. Bapak
sangat sedih karena merasa disia-siakan olehku. Menunggu dari pagi, melewatkan
makan siang padahal Bapak punya sakit magh, tidak bertemu denganku tetapi malah
dapat perlakuan tidak sopan, mungkin itulah yang dipikirkannya. Mendengar hal
tersebut dari Mamak, seketika dadaku sesak. Aku orang yang suka menutupi
kesedihanku, sehingga sangat jarang orang lain melihatku menangis mereka hanya
tahu bahwa aku orang yang selalu berkisah bahagia tapi kenyataannya tidak.
Bahkan didepan Mamak juga aku menutupi isak tangisku. Kristal bening keluar
dari persembunyiannya dan kemudian mengalir ke pipiku. Aku merasa sangat
bersalah mendengar penjelasan Mamak. Aku kemudian berjanji dalam hatiku, aku
tidak akan membuat Bapak menangis lagi, aku akan membahagiakan orang tuaku. Aku
tidak mau menjadi anak durhaka.
Pak, sebenarnya aku sangat
menyayangi Bapak, tapi aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan rasa sayang
itu. Bapak ingatkan waktu dulu Bapak sama Mamak meninggalkanku bersama Mbah?
Bapak ingat waktu aku masih SD kelas 2, hari itu Bapak sama Mamak pergi membuka
lahan di Teluk Kuantan? Baru 2 hari saja kita pulang dari Pekanbaru besoknya
Bapak sama Mamak pergi lagi ke Teluk Kuantan?
Hari ketiga aku di sekolah baru yang begitu asing bagiku, ketika pulang
sekolah tiba-tiba aku tidak sengaja melihat Bapak sama Mamak berada di gerobak
mobil datsun. Firasatku mengatakan ini tidak beres. Aku menangis melihat mobil
itu pergi membawa Bapak, aku mengejar mobil itu, tetapi mobil itu tidak mau
berhenti. Uwak yang waktu itu baru pulang berbelanja dengan susah payah
menahanku agar tidak mengejar mobil itu sambil memegangi belanjaannya yang
hampir morat-marit dari keranjangnya.
Aku menangis tidak karuan, mencoba
menjatuhkan badanku saat digendong Uwak kemudian aku berguling-guling di tanah.
Semua teman yang menahanku aku tendang. Waktu itu aku tidak ingin satu orang
pun menghalangi kepergianmu. Aku menjerit “Bapak... Bapak... Bapak... Jangan
pergi Bapak.. Gak mau aku gak mau.. Bapaaakk.. Mamakk.... Mak’ee Mamak mau
kemana.. Jangan pergi..”, aku mengejar mobil itu dengan semua sisa tenagaku.
Masih saja ada yang menahaniku, aku melompat-lompat mencoba melepaskan diri.
Kemudian Bapak turun dari mobil itu, dan membiarkan mobil itu pergi membawa
Mamak. Saat itu Bapak pulang bersamaku ke rumah Uwek. Bapak menyuruhku makan
lalu tidur siang tetapi aku tidak mau karena aku takut Bapak akan pergi
meninggalkanku lagi. Kemudian Bapak membuka baju yang sedang Bapak pakai dan
menggantungkannya. Bapak bilang akan pergi ke sawah membantu Mbah yang sedang
membanting padi.
Aku pun tidur siang dan ketika aku terbangun aku melihat
langit begitu mendung. Aku pamit pada Uwek ingin pergi menjemput dan membawakan
payung untuk Bapak supaya Bapak ketika pulang tidak kehujanan. Aku pergi ke
sawah sambil bernyanyi dengan hati yang sangat bahagia karena Bapak tidak jadi
pergi meninggalkanku. Sesampainya aku di sawah, aku melihat Mbah yang sedang
duduk di gubuk. Aku berjalan ke arah Mbah sambil melihat sekeliling, tidak ada
tumpukan padi yang selesai di arit, tidak
ada satupun tanaman padi, dan aku juga tidak melihat Bapak disana.
Di gubuk aku bertanya pada
Mbah dimana Bapak. “Tapi wes bali neng Teluk Kuantan? (Tapi sudah kembali ke
Teluk Kuantan?), jawaban Mbah mengagetkanku. Aku hanya bisa menangis tanpa
menghiraukan Mbah, berjalan pulang dengan wajah basah dengan air mata. Menangis
sepanjang jalan pulang, berbicara sendiri seperti orang tidak waras, menjerit
tak kuasa menahan emosi. Aku melemparkan payungku dan kemudian mengambilnya
lalu melemparkannya lagi kemudian aku ambil kembali. Aku merasa dibodohi oleh
kepolosanku. Mengapa aku langsung percaya begitu saja? Waktu itu aku hanya
menyalahkan diriku sendiri. Sejak saat itu aku tinggal bersama Mbah. Mbah yang
mengurusku dan menyekolahkaku. Mbah sangat judes, berkata semaunya kepadaku,
tapi aku tahu dia menyayangiku.
Suatu hari, hal ini membuatku
pindah dari rumah Mbah ke rumah Pak Tua (Abang dari Bapak). Ketika itu Bibiku
sedang memasak, entah karena apa waktu Bibi memarahiku aku tidak ingat. Yang
jelas dia hampir menempelkan sutil panas ke bibirku. Aku menangis dan kemudian
Mak Tua bertanya kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar
penjelasanku, Mak Tua langsung memarahi Bibi dan mengangkat semua baju-bajuku
yang kemudian di pindahkan ke rumahnya. Sebenarnnya aku tidak setuju, tapi
sudah terlanjur aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mengingat Mak Tua sudah
memiliki 3 anak dan ia membuka kedai kopi, pasti sangat merepotkan di rumahnya.
Sejak saat itulah kehidupan baruku yang sangat berbeda dari sebelumnya dimulai.
Setiap pagi sebelum mandi aku harus mencuci tumpukan gelas baru aku bisa
berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah aku juga harus berebut lauk makan
dengan 2 anak Mak Tuaku. Anak pertama mereka sangat baik dan dewasa, yang
bermasalah anak ke-2 dan ke-3nya. Anak ke-2nya laki-laki dan ia tidak pernah
mau mengalah. Aku sangat tersiksa dengan perlakuan anak-anaknya.
Aku ingin
kembali ke rumah Mbah tidak mungkin, jika begitu aku pasti akan menyakiti
perasaan Mak Tuaku. Aku takut dia bilang aku orang yang tidak tahu diri. Aku
sangat dilema. Setiap hari kujalani hari-hariku sampai pada suatu ketika aku
bertemu Bapak tapi entah dimana itu, aku tidak bisa mengingatnya hingga
sekarang tapi baru saja aku mengedipkan mataku suasana sudah berubah. Ternyata
aku bermimpi dan ketika aku bangun sudah banyak orang disekelilingku memegang
tanganku. Aku melihat baju yang ku pakai adalah baju Bapak. Mengapa bisa
begini? Kemana Bapak? Pertanyaanku dalam hati langsung terjawab ketika Pak Tua
bilang “Udah bangun kau Nang? Sakit kau da, panas kali kau tadi.” Kira-kira
sepuluh menit kemudian aku baru menyadari bahwa aku memang sedang sakit dan aku
merindukan Bapak. Mbah bilang aku selalu mengigau tentang Bapak, aku selalu
memanggil Bapak sampai aku terbangun. Aku hanya diam, bingung tak tahu apa yang
harus aku lakukan dan aku katakan. Dari rumah inilah aku membangun sikap
pendiamku. Aku menyimpan segala emosi di hatiku, menyimpan amarah kepada kedua
sepupuku, menyimpan semua hal menyakitkan dalam hidupku, aku menyimpan semua
yang menurutku menyedihkan jika orang lain mengetahuinya.
Disekolah juga aku
sempat menjadi kacung, tetapi ketika aku bersikap pendiam dan tajam tidak ada
yang berani mendekat. Pernah suatu ketika entah karena apa, aku menggoreskan
pisau ke tanganku hingga mengeluarkan darah. Aku menangis dan bertanya kepada
teman-temanku “Apa karena Bapakku gak disini kalian semua suka-suka ngerjain
aku?”, entah setan apa yang merasukiku waktu itu hingga aku berani berbuat yang
tidak-tidak. Dari situ juga aku menyimpan amarah kepada teman-temanku. Aku tak
mau dikalahkan, aku selalu ingin menang, aku membenci siapapun yang
menghalangiku. Sifat egoisku muncul, setiap hari aku mengepalkan tanganku
menahan dendam pada teman-temanku. “Bapak dimana kau, aku membutuhkanmu”
bisikan hatiku yang merindukan sosok Bapak. Sifatku bertahan sampai aku kelas 1
SMK, walaupun saat itu aku telah bertemu denganmu kembali, aku tetap saja tidak
bisa menghilangkan sifat itu.
08
Maret 2018
Aku pikir hari ini tanggal 7,
yaitu 1 hari sebelum ulang tahunku. Tapi hari ini, umurku sudah 19 tahun. Aku
ingin meneruskan ceritaku di hari ulang tahunku ini.
Aku menulis sebuah puisi untuk
Bapak.
Senjamu tertutup gigih
Goresanmu penuh peluh
Terik menghajarmu
Tubuh kurus menopang
insan
Sakit tak lagi pantas
diucap
Ingatan pemberi yang
santun
Air mataku terbaring
mengering di bawah senja
Pena menangis hampir tak
pernah berdusta
Bintang... bisa kau
temani Ayah?
Aku melihat Ayah seperti
matahari
Matahari yang tak pernah
ingkar janji
Tapi semua tak lagi
berarti
Surat kecil berisi lisan
Cinta yang kuuntai dalam
taburan doa
Siapa hendak sampaikan?
Waktu tega membuatku
dewasa
Bisakah aku bahagia
tanpa Ayah?
Aku sudah kuliah megambil jurusan
yang sama waktu aku SMK dulu, Akuntansi. Sudah semester 3 lamanya. Ketika aku
melihat tubuhku, ketika aku melihat layar laptopku, ponselku, bajuku, aku hanya
melihat itu semua sebagai keringat Bapak.
Aku membencinya karena mengingat
masa laluku, tapi aku menangis melihatnya harus bekerja siang dan malam. Aku
menangis melihat tubuh kurusnya, aku menangis mendengar ia menawariku membeli
ponsel baru.
Sebenarnya perasaan apa ini?
Hari-hariku selalu dipenuhi
ketakutan. Ketakutan akan ditinggal Bapak. Bapak telah menua, Mamak semakin
rapuh sementara aku belum menjadi apa-apa. Bapak bekerja untuk makan dan
membayar hutang.
Aku bahkan tidak berani
memikirkan diriku dimasa depan.
Bagaimana caranya agar aku bisa
membahagiakan Bapak? Bagaimana caranya agar aku bisa membantu meringankan
bebannya saat ini?