Senin, 11 Februari 2019

Aku Sayang Bapak



17 Agustus 2016
       Sosok yang sangat kuat di mata anak-anaknya, sosok yang keras dan memikul beban paling berat di keluarga ini. Bapak. Orang yang kami panggil dengan sebutan Bapak adalah seseorang yang sebenarnya kami sangat sayangi. Dia harus berangkat pagi dan sore untuk menderes pohon enau demi membiayai segala keperluan rumah tangga dan sekolah kami anak-anaknya. Bapak adalah orang yang sangat keras dan sangat kami hormati juga kami takuti di rumah ini. Tapi, aku tak menyangka Bapak yang ku kenal keras ini bisa menangis.
          Sewaktu aku masih duduk di kelas 3 SMA, Bapak dan Mamak menungguku pulang sekolah di indekos dengan tujuan mengunjungiku. Handphone yang aku bawa saat itu dalam posisi mode diam. Bertepatan aku sedang ada tugas kelompok, aku pulang agak sore sekira jam setengah empat. Setelah pulang mengerjakan tugas kelompok, dijalan pulang aku membuka hp ku dan aku melihat ada 12 panggilan tak terjawab dari Bapak. Tepat didepan gerbang, saat itu Bapak meneleponku. “Ngapainnya kau kok lama kali pulang? Uda dari tadi pagi kami nunggu-nunggu kau pulang sekolah. Ditelepon bukannya diangkat!!”. Entah setan apa yang merasuki pikiranku waktu itu, aku menjawab Bapak dengan nada tidak sopan. “Aku baru pulang sekolah lo Pak! Tadi kami ada tugas kelompok!! Aku gak tau ada telpon karna hpnya....”
Ttutt ttuut ttuuut, panggilan diputuskan oleh Bapak. Saat itu, aku merasa sangat benci pada Bapak. Aku berpikir Bapak tidak pernah mengerti aku, dia hanya tahu memarahi, membentak, dan memukulku dengan begitu teganya. Aku sungguh tiada arti dimatanya, bahkan selama ini aku belajar keras untuk Bapak, agar Bapak bisa senang melihatku juara. Sekali lagi aku mencaci Bapak dalam hatiku karena merasa perjuanganku selama sekolah disia-siakan olehnya.

“Belajar yang betul, biar pinter dapat juara”, kata Bapak sewaktu dulu membimbingku belajar. Jika aku tidak belajar dia akan memukulku, jika aku menangis waktu belajar dia juga memukulku. Terakhir dia memukulku sewaktu aku pergi malam-malam dengan pacarku, ketika itu aku masih berada dikelas 3 SMP. Bukan karena diajak pacarku Bapak marah, dia tahu pacarku orang yang baik, tetapi karena aku pergi bersama sepupuku.Sepupuku perempuan nakal, dia berani kesana-kemari bersama lelaki, karena hal itulah Bapak marah kepadaku dan menghajarku.

“Berapakali Bapak bilang, jangan main sama Winda. Pergi malam-malam, gak tahu kemana. Mau jadi apa?! Hah?! Mau jadi apa kau?!” begitulah Bapak memarahiku sambil memukulku dengan ranting bunga raya. Mamak hanya bisa memelukku sambil bilang “Udalah Pak udah”.

Meski begitu aku tak berani menangis dihadapan Bapak, semakin aku menangis semakin kuat pula Bapak memukulku. Kaki dan punggungku merah-merah akibat tebasan ranting bunga raya. Mamak menuntunku berbaring dikamar lalu dia memelukku, saat itulah aku menangis sampai terisak. Mamak pun mengolesi kaki dan punggungku dengan minyak. Itulah terakhir Bapak memukulku, mulai kelas 1 SMK Bapak hanya memarahiku dan tak pernah pula Bapak membentakku.

Setiap Sabtu aku pulang ke rumah dan setiap hari Minggu aku kembali lagi ke indekos. Setelah kejadian Bapak dan Mamak mengunjungiku, pulanglah aku di hari Sabtu. Di rumah, Mamak menceritakan yang terjadi hari itu. Mamak bilang sudah dari pagi Bapak dan Mamak menungguku di indekos, dan karena menungguku mereka melewatkan makan siang mereka. Bapak meneleponku berulang-ulang tetapi tidak ada jawaban. Mamak juga bilang, bahwa mereka rindu padaku karena aku tidak pulang minggu kemarin dan mengunjungiku tanpa sepengetahuanku. Tapi ternyata mereka tidak bertemu denganku. 

Hari itu mereka merasa sangat tersakiti, belum lagi ketika aku di telepon membentak Bapak. Kata Mamak, Bapak menangis selesai meneleponku. Bapak sangat sedih karena merasa disia-siakan olehku. Menunggu dari pagi, melewatkan makan siang padahal Bapak punya sakit magh, tidak bertemu denganku tetapi malah dapat perlakuan tidak sopan, mungkin itulah yang dipikirkannya. Mendengar hal tersebut dari Mamak, seketika dadaku sesak. Aku orang yang suka menutupi kesedihanku, sehingga sangat jarang orang lain melihatku menangis mereka hanya tahu bahwa aku orang yang selalu berkisah bahagia tapi kenyataannya tidak. Bahkan didepan Mamak juga aku menutupi isak tangisku. Kristal bening keluar dari persembunyiannya dan kemudian mengalir ke pipiku. Aku merasa sangat bersalah mendengar penjelasan Mamak. Aku kemudian berjanji dalam hatiku, aku tidak akan membuat Bapak menangis lagi, aku akan membahagiakan orang tuaku. Aku tidak mau menjadi anak durhaka.

Pak, sebenarnya aku sangat menyayangi Bapak, tapi aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan rasa sayang itu. Bapak ingatkan waktu dulu Bapak sama Mamak meninggalkanku bersama Mbah? Bapak ingat waktu aku masih SD kelas 2, hari itu Bapak sama Mamak pergi membuka lahan di Teluk Kuantan? Baru 2 hari saja kita pulang dari Pekanbaru besoknya Bapak sama Mamak pergi lagi ke Teluk Kuantan?  Hari ketiga aku di sekolah baru yang begitu asing bagiku, ketika pulang sekolah tiba-tiba aku tidak sengaja melihat Bapak sama Mamak berada di gerobak mobil datsun. Firasatku mengatakan ini tidak beres. Aku menangis melihat mobil itu pergi membawa Bapak, aku mengejar mobil itu, tetapi mobil itu tidak mau berhenti. Uwak yang waktu itu baru pulang berbelanja dengan susah payah menahanku agar tidak mengejar mobil itu sambil memegangi belanjaannya yang hampir morat-marit dari keranjangnya. 

Aku menangis tidak karuan, mencoba menjatuhkan badanku saat digendong Uwak kemudian aku berguling-guling di tanah. Semua teman yang menahanku aku tendang. Waktu itu aku tidak ingin satu orang pun menghalangi kepergianmu. Aku menjerit “Bapak... Bapak... Bapak... Jangan pergi Bapak.. Gak mau aku gak mau.. Bapaaakk.. Mamakk.... Mak’ee Mamak mau kemana.. Jangan pergi..”, aku mengejar mobil itu dengan semua sisa tenagaku. Masih saja ada yang menahaniku, aku melompat-lompat mencoba melepaskan diri. Kemudian Bapak turun dari mobil itu, dan membiarkan mobil itu pergi membawa Mamak. Saat itu Bapak pulang bersamaku ke rumah Uwek. Bapak menyuruhku makan lalu tidur siang tetapi aku tidak mau karena aku takut Bapak akan pergi meninggalkanku lagi. Kemudian Bapak membuka baju yang sedang Bapak pakai dan menggantungkannya. Bapak bilang akan pergi ke sawah membantu Mbah yang sedang membanting padi. 

Aku pun tidur siang dan ketika aku terbangun aku melihat langit begitu mendung. Aku pamit pada Uwek ingin pergi menjemput dan membawakan payung untuk Bapak supaya Bapak ketika pulang tidak kehujanan. Aku pergi ke sawah sambil bernyanyi dengan hati yang sangat bahagia karena Bapak tidak jadi pergi meninggalkanku. Sesampainya aku di sawah, aku melihat Mbah yang sedang duduk di gubuk. Aku berjalan ke arah Mbah sambil melihat sekeliling, tidak ada tumpukan padi yang selesai di arit, tidak ada satupun tanaman padi, dan aku juga tidak melihat Bapak disana.

Di gubuk aku bertanya pada Mbah dimana Bapak. “Tapi wes bali neng Teluk Kuantan? (Tapi sudah kembali ke Teluk Kuantan?), jawaban Mbah mengagetkanku. Aku hanya bisa menangis tanpa menghiraukan Mbah, berjalan pulang dengan wajah basah dengan air mata. Menangis sepanjang jalan pulang, berbicara sendiri seperti orang tidak waras, menjerit tak kuasa menahan emosi. Aku melemparkan payungku dan kemudian mengambilnya lalu melemparkannya lagi kemudian aku ambil kembali. Aku merasa dibodohi oleh kepolosanku. Mengapa aku langsung percaya begitu saja? Waktu itu aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Sejak saat itu aku tinggal bersama Mbah. Mbah yang mengurusku dan menyekolahkaku. Mbah sangat judes, berkata semaunya kepadaku, tapi aku tahu dia menyayangiku.

Suatu hari, hal ini membuatku pindah dari rumah Mbah ke rumah Pak Tua (Abang dari Bapak). Ketika itu Bibiku sedang memasak, entah karena apa waktu Bibi memarahiku aku tidak ingat. Yang jelas dia hampir menempelkan sutil panas ke bibirku. Aku menangis dan kemudian Mak Tua bertanya kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar penjelasanku, Mak Tua langsung memarahi Bibi dan mengangkat semua baju-bajuku yang kemudian di pindahkan ke rumahnya. Sebenarnnya aku tidak setuju, tapi sudah terlanjur aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mengingat Mak Tua sudah memiliki 3 anak dan ia membuka kedai kopi, pasti sangat merepotkan di rumahnya. Sejak saat itulah kehidupan baruku yang sangat berbeda dari sebelumnya dimulai. Setiap pagi sebelum mandi aku harus mencuci tumpukan gelas baru aku bisa berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah aku juga harus berebut lauk makan dengan 2 anak Mak Tuaku. Anak pertama mereka sangat baik dan dewasa, yang bermasalah anak ke-2 dan ke-3nya. Anak ke-2nya laki-laki dan ia tidak pernah mau mengalah. Aku sangat tersiksa dengan perlakuan anak-anaknya. 

Aku ingin kembali ke rumah Mbah tidak mungkin, jika begitu aku pasti akan menyakiti perasaan Mak Tuaku. Aku takut dia bilang aku orang yang tidak tahu diri. Aku sangat dilema. Setiap hari kujalani hari-hariku sampai pada suatu ketika aku bertemu Bapak tapi entah dimana itu, aku tidak bisa mengingatnya hingga sekarang tapi baru saja aku mengedipkan mataku suasana sudah berubah. Ternyata aku bermimpi dan ketika aku bangun sudah banyak orang disekelilingku memegang tanganku. Aku melihat baju yang ku pakai adalah baju Bapak. Mengapa bisa begini? Kemana Bapak? Pertanyaanku dalam hati langsung terjawab ketika Pak Tua bilang “Udah bangun kau Nang? Sakit kau da, panas kali kau tadi.” Kira-kira sepuluh menit kemudian aku baru menyadari bahwa aku memang sedang sakit dan aku merindukan Bapak. Mbah bilang aku selalu mengigau tentang Bapak, aku selalu memanggil Bapak sampai aku terbangun. Aku hanya diam, bingung tak tahu apa yang harus aku lakukan dan aku katakan. Dari rumah inilah aku membangun sikap pendiamku. Aku menyimpan segala emosi di hatiku, menyimpan amarah kepada kedua sepupuku, menyimpan semua hal menyakitkan dalam hidupku, aku menyimpan semua yang menurutku menyedihkan jika orang lain mengetahuinya. 

Disekolah juga aku sempat menjadi kacung, tetapi ketika aku bersikap pendiam dan tajam tidak ada yang berani mendekat. Pernah suatu ketika entah karena apa, aku menggoreskan pisau ke tanganku hingga mengeluarkan darah. Aku menangis dan bertanya kepada teman-temanku “Apa karena Bapakku gak disini kalian semua suka-suka ngerjain aku?”, entah setan apa yang merasukiku waktu itu hingga aku berani berbuat yang tidak-tidak. Dari situ juga aku menyimpan amarah kepada teman-temanku. Aku tak mau dikalahkan, aku selalu ingin menang, aku membenci siapapun yang menghalangiku. Sifat egoisku muncul, setiap hari aku mengepalkan tanganku menahan dendam pada teman-temanku. “Bapak dimana kau, aku membutuhkanmu” bisikan hatiku yang merindukan sosok Bapak. Sifatku bertahan sampai aku kelas 1 SMK, walaupun saat itu aku telah bertemu denganmu kembali, aku tetap saja tidak bisa menghilangkan sifat itu.

08 Maret 2018
Aku pikir hari ini tanggal 7, yaitu 1 hari sebelum ulang tahunku. Tapi hari ini, umurku sudah 19 tahun. Aku ingin meneruskan ceritaku di hari ulang tahunku ini.

Aku menulis sebuah puisi untuk Bapak.
Senjamu tertutup gigih
Goresanmu penuh peluh
Terik menghajarmu

Tubuh kurus menopang insan
Sakit tak lagi pantas diucap
Ingatan pemberi yang santun

Air mataku terbaring mengering di bawah senja
Pena menangis hampir tak pernah berdusta
Bintang... bisa kau temani Ayah?

Aku melihat Ayah seperti matahari
Matahari yang tak pernah ingkar janji
Tapi semua tak lagi berarti

Surat kecil berisi lisan
Cinta yang kuuntai dalam taburan doa
Siapa hendak sampaikan?

Waktu tega membuatku dewasa
Bisakah aku bahagia tanpa Ayah?

Aku sudah kuliah megambil jurusan yang sama waktu aku SMK dulu, Akuntansi. Sudah semester 3 lamanya. Ketika aku melihat tubuhku, ketika aku melihat layar laptopku, ponselku, bajuku, aku hanya melihat itu semua sebagai keringat Bapak.

Aku membencinya karena mengingat masa laluku, tapi aku menangis melihatnya harus bekerja siang dan malam. Aku menangis melihat tubuh kurusnya, aku menangis mendengar ia menawariku membeli ponsel baru.

Sebenarnya perasaan apa ini?

Hari-hariku selalu dipenuhi ketakutan. Ketakutan akan ditinggal Bapak. Bapak telah menua, Mamak semakin rapuh sementara aku belum menjadi apa-apa. Bapak bekerja untuk makan dan membayar hutang.

Aku bahkan tidak berani memikirkan diriku dimasa depan.

Bagaimana caranya agar aku bisa membahagiakan Bapak? Bagaimana caranya agar aku bisa membantu meringankan bebannya saat ini?

Rabu, 03 Oktober 2018

CARA ALLAH

Temukan saya di wattpad!

"Pergi kau dari rumah ini!" wanita paruh baya itu mengusirku. Dia Ibuku, yah tentu saja kandung.

Aku bergeming lalu menyunggih senyum disudut bibir, tanpa sepengetahuan Ibu tentunya. Deretan kalimat yang sudah aku tunggu lama sekali.

Lalu aku yang sedang berdiri di pintu samping rumah dengan tangan kanan yang menyelusup didalam kantung kembali ke kamar namun Ibu menghadangku. Seakan waktu itu berjalan slow motion, aku melihat tangannya melayang kearah pipiku. Aku tidak berniat mengelak, aku hanya menarik kepalaku ke belakang untuk meminimalisir rasa sakitnya. Karena jika tamparan itu mengenai telingaku, mungkin sakitnya akan dua kali lipat atau fatalnya aku tidak bisa mendengar. Yah, aku punya penyakit di telinga, yang terkadang terasa sangat sakit sampai aku tak bisa mendengar dengan jelas atau fokus.

Tidak ada yang tahu, hanya aku dan sekarang, siapapun yang membacanya, sudah jelas mengetahuinya.

Ibu mungkin geram karena tak berhasil menamparku dengan tepat, lalu dia duduk dan menangis sementara aku berjalan ke kamarku dan duduk bersandar di lemari.

"Kau sudah menyusahkanku sejak kau kecil, pergilah sekarang juga. Aku tidak mau melihatmu lagi." kata Ibu.

Memoriku kembali ke masa dulu, masa dimana aku harus tinggal kesana kemari. Terkadang di rumah nenek dari Ayah, kadang rumah uwak, rumah nenek dari Ibu. Lalu dimana letak masa kecilku yang menyusahkanmu Ibu? Waktu itu kau mengurus ladang di Pekanbaru sementara aku tinggal di Medan.

Aku ingin bertanya seperti itu, tapi aku yakin jika aku berbicara sedikit saja, air mata ini takkan terbendung. Ya, aku tidak ingin menangis. Tidak ada alasan untuk itu, yang jelas bukan untuk terlihat kuat. Tapi mungkin saja karena aku sudah terlalu banyak menangis sebelumnya.

Ada banyak hal yang Ibu bicarakan, termasuk tentang perhatianku padanya, tentang pengertianku dan juga hal lainnya sampai aku lupa.

Apa caraku mengerti Ibu salah? Apa perhatianku kurang?

Mungkin sebagian orang menilai aku banyak bicara, banyak tertawa, orang yang bahagianya tidak pernah putus, sebagian lagi menganggap aku biasa saja. Akan tetapi, dirumah aku adalah orang yang dingin. Aku jarang tertawa, jarang bicara hingga banyak orang takut melihatku, takut berbicara saat didepanku.

Meskipun begitu, aku tak pernah merasa bahwa aku tidak pengertian seperti yang Ibu bilang.

Ketika situasi mulai mereda, aku dengan cepat menyusun baju-bajuku kedalam tas ransel milikku. Ijazah, KTP, piagam penghargaan, fotokopi akte lahir, semua persiapan melamar kerja aku susun rapi juga. Disinilah, disini air mataku mulai membasahi kertas-kertas itu. Menangis tanpa suara jauh lebih sakit ternyata.

Aku hanya teringat teman-temanku di kampus juga temanku di klub. Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka? Bagaimana jika mereka melupakan aku? Erni, Widia, Yuda, Bg Luis, Tomi... Bang Bagus, Fahmi, Raihan, Jeff. Astaga, aku tak dapat menulis semuanya. Hanya saja, senyum mereka memenuhi bayanganku, seakan setiap jatuhnya air mata adalah ucapan rindu.

Selama ini aku berusaha agar tidak menjadi diriku yang dingin, berusaha mewarnai persahabatan ini dengan bahagia dan tawa yang aku buat. Saat suatu saat aku pergi meninggalkan mereka, mereka tahu caranya bahagia tanpa aku, tahu caranya menjadi periang saat hati mulai sendu.

Lalu aku berhasil? Entahlah.

Hari itu aku menghubungi semua temanku, menanyakan pekerjaan, indekos, dan banyak hal. Tapi terakhir, Jeff menjemputku di kota. Aku mengenakan kaos putih dengan topi hitam juga kacamata untuk menutupi mata yang sembab. Jeff tidak terlalu memperhatikan wajahku, dia mungkin mengerti.

"Kau sudah makan?" tanya Jeff.

Aku tersenyum terlebih dahulu, untuk menetralisir rasa pedih di hatiku yang rasanya sudah di telak. "Hehe, sudah..."

Berusaha menarik nafas panjang, merasakan angin yang menerpa tubuhku sore itu.

Tangisku pecah, dalam dekapan senja. Entah apa yang aku rindukan, entah apa yang aku ingin sampaikan. Kepada bias cahaya yang dalam hitungan detik akan redup lalu berganti kelam yang lebam.

"Tia?"

Panggilan itu membuyarkan lamunan kecilku. Suara berat yang berasal dari pria yang tengah memboncengku saat itu. Lalu kupejamkan mata yang bulir air matanya sudah tak dapat ku bendung.

Aku tak menjawab.

"Kuliahmu? Bagaimana?" nadanya tenang.

Percayalah, aku tengah menahan suara agar tidak terdengar bergetar saat menjawabnya. Dan lagi-lagi aku bungkam sambil terus memandang pepohonan yang kami lewati.

"Lancar?" tanyanya kembali.

Air mataku menuruni pipi dengan bebas, kemudian angin menghapusnya.

Aku tersenyum dan gigiku menggeletuk, menahan rasa pilu. "Emm iya. Lancar..." jawabku akhirnya.

Lalu pria itu tertawa kecil mendengar jawabanku. "Aku bahagia setiap kali melewati jalan ini."

"Kenapa?"

"Aku merasa tenang, damai..." jawabnya sambil terus memacu laju motor tuanya.

Aku diam. Lalu kulihat sekeliling. Hanya ada pepohonan dengan daun kering dibawahnya, rerumputan hijau dipinggir jalan, dan matahari yang sudah mulai turun, memancarkan sinar berwarna kuning terang di hamparan langit yang luasnya sejauh mata melihat.

"Sebenarnya kita harus bersyukur, untuk segala hal yang kita dapat. Karena belum tentu orang diluar sana bisa menikmati senja seperti kita saat ini. Mereka masih asik bergelut dengan pekerjaan mereka sampai matahari tenggelam."

Aku mengangguk pelan.

"Alam telah memberi kita ketenangan, tapi karena suatu masalah, kita lupa akan itu."

Aku menyeka air mataku dengan tangan kiri. Lalu aku tersenyum. Saat itu, entah Jeff sedang menyinggungku atau hanya sedang ingin berbicara seperti itu, entahlah.

Sesampainya di rumah Bang Bagus, aku lihat teman klubku sudah berkumpul. Tidak sedang menyambutku memang, hanya sedang berkumpul saja.

Aku kemudian tinggal beberapa hari di rumah Bang Bagus, lalu menjatuhkan lamaran di satu supermarket melalui teman kampusku yang juga bekerja disana. Dan jika tanpa bantuan Raihan, mungkin aku sudah lelah kesana kemari mengurus berkas.

Aku menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan selama beberapa hari, dan kala itu aku teringat. Aku meninggalkan sesuatu di rumah dan aku meminta bantuan temanku untuk mengambilnya melalui adikku tanpa sepengetahuan Ibu.

Singkat cerita, ia membawakan semua yang aku butuhkan. Dan ketika aku akan pergi, Yani menahanku.

"Ada yang ingin bertemu denganmu" Yani menatapku.

"Siapa?" Aku tengah menduga siapa orangnya.

"Sudahlah, temui dulu."

Aku merasa dikhianati oleh Yani karena telah memberitahu keberadaanku.

"Ayah?" Lirihku dengan hampir menjatuhkan air mata. Paling tidak bisa aku terlihat menangis didepan temanku, aku tidak ingin berbagi cerita pedihku. Untung saja hujan, dan wajahku memang sudah basah.

Yani mengangguk setelah pertanyaanku.

Aku bungkam. Lalu Yani memberitahuku dimana Ayah berada dan tanpa jeda aku melangkah menemuinya. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin kembali ke rumah, aku tidak ingin bertemu Ibu.

Lalu kulihat seseorang duduk di trotoar dengan tas ransel yang ia dekap di dada. Ia mengenakan topi dan juga kemeja tipis.

Yani berhenti melangkah ketika aku berlari memeluk Ayah. Lalu Ayah mencium keningku. Nyaris aku tak dapat bicara. Tak sampai hati aku mengatakan hal yang sudah aku susun tadi.

Tapi, aku tidak ingin perasaan ini menguasai diriku. Aku melepas pelukannya, dan duduk tegap.

"Kakak tidak akan pulang ke rumah, Kakak sudah kost sekarang. Kakak tidak mau bertemu Ibu." jelasku.

"Iya." lirihnya pelan.

Satu kata itu yang membuat hati ini kembali terenyuh.

"Ini, Ayah bawakan kue kesukaan Kakak." sambil mengeluarkan bungkus-bungkus roti yang ia ikat sendiri. Aku melihat ikatannya yang tidak rapi. Dia seorang Ayah bukan? Yang nyaris tak pernah mengurus dirinya sendiri, apalagi mengikat berbungkus-bungkus kue untuk anak gadisnya?

Oh Tuhaaaan, hati ini semakin sakit rasanya.

Hal yang ingin aku katakan. "Terimakasih Yah."

Tapi anggap itu adalah khayalan, karena aku tidak mengucapkannya.

"Pulanglah..." kata Ayah.

Aku menggeleng.

"Adikmu tidak ingin ikut jalan-jalan kalau tidak ada Kakak. Dia juga tidak ingin berbicara pada kami semua." jelasnya.

Entah bagaimana, aku terus mencoba mencari alasan agar aku tidak pulang. Tapi rasa ini begitu rindu. Aku memilih pulang, tapi tidak dengan bertemu Ibu. Aku tidur di rumah Nenek.

Lalu esoknya aku pergi ke Mickey Holiday dengan adikku, sementara keluargaku yang lain ke tempat destinasi lain.

Sebelum pergi, tentunya aku harus ganti baju di rumah. Lalu aku pulang. Kulihat sekilas Ibu yang duduk diteras rumah, baru saja ia pulang dari ladang.

"Kakak masih marah?" Ibu bertanya kepadaku namun aku hanya melintas begitu saja.

Nyatanya aku tidak marah, tidak juga benci dan tidak dendam. Kalaupun marah, akan lebih pantas aku marah kepada diri sendiri yang sudah sebesar ini belum mampu membahagiakan Ibu. Aku hanya tahu diri, sebagai orang yang sudah diusir dari rumah ini.

Lalu saat tengah liburan, sepanjang hari aku hanya melihat senyum Adikku. Bagaimana bisa aku meninggalkannya? Begitu tidak bertanggungjawabnya kakak sepertiku. Yang membuat kagum adiknya dengan semua hal yang aku dapat dari luar sana, sampai ia bermimpi suatu saat akan mencobanya dan menjadi sepertiku.

Oh tidak adikku. Jangan menjadi seperti aku yang terlihat bahagia tetapi tidak. Bahagialah tanpa harus berbohong bahwa kau sedang bahagia, bahagialah....

Aku teringat diarynya yang kutemukan dibawah bantalnya. Tentang bahagianya ia memiliki kakak sepertiku, tentang kagumnya dia pada semua teman yang aku miliki, tentang betapa indahnya jika dunia ini ia pijak bersamaku, tentang mimpi yang ia ingin gapai bersamaku.

Aku memang tidak pernah, mengucap sayang kepada Ibu,mengucap rindu apalagi. Tapi, aku selalu bilang kepada adik-adikku, "Dik, jaga Ibu. Jangan buat Ibu marah."

Itu juga yang aku pesankan kali ini kepadanya saat kami berdua duduk dirumah pohon di Funland Mickey Holiday, menikmati angin dan juga mengurangi lelahnya setelah bermain bersama.

Ia yang waktu itu sedang tidur disampingku hanya bergeming. Aku tak terlalu peduli ia dengar atau tidak. Karena aku yakin, keinginan dia membahagiakan Ibu nyatanya lebih besar.

Aku teringat, betapa bahagianya Ibu ketika ia tahu Riza (adikku) membelikannya baju dengan uang jajannya yang ia tabung. Yakinlah, aku merasa kecil waktu itu. Tapi percayalah aku tidak iri. Wajar bila Riza lebih diperhatikan atau lebih di sayang, wajar bila Ibuku bilang Rizalah yang mengerti dia daripada aku. Aku bahagia ada seseorang yang bisa membuat Ibu bahagia.

Dan, hari ini aku berpikir akan menulis cerita ini nantinya. Hari ini, tepatnya 16 Juli 2018 di ketinggian 2457 mdpl Gunung Sibuatan, aku merasa rindu masakan Ibu.

"Kemarin, aku ingin cepat-cepat pulang. Tentunya untuk kasur yang empuk, makanan yang matang dan nyaman yang awet.

Tetapi 3 hari setelahnya? Aku mulai kalut. Gunung membuatku merindunya. Rimba memanggil penjelajahnya.

Oh ternyata ini yang membuat pendaki mencintai puncak.

Alam mampu membuat kita menjadi perindu kebebasan sejati, keharmonisan yang tidak bisa kita dapat dari manusia. Mungkin ini juga alasan mengapa pendaki yang aku temui menggambar senyum yang lebar dan tak kenal lelah meskipun aku tahu diluar sana mereka seperti apa. Mereka punya masalah, lalu kita?

Ya kita juga.

Tapi entah mengapa ketika beberapa orang bercerita tentang dirinya, aku merasa lebih baik. Kenapa? Karena masalahku tidak ada apa-apanya dibanding mereka.

Bersyukur untuk setiap inci kebahagian yang aku terima, setiap hembusan nafas yang masih terasa nikmatnya, setiap rasa tenang yang aku dapatkan, setiap canda yang orang-orang berikan.

Untuk bahagia itu takdir, tetapi untuk merasa bahagia itu pilihan."

Kalimat itu mungkin yang mampu mewakili penyesalanku. Dan seharusnya kalian tahu, aku tidak lebih baik dari apa yang aku katakan.

Dan yang sekarang terjadi, aku hanya akan menjalaninya sepenuh hati. Aku mulai membawakan oleh-oleh ketika pulang dari indekos dan hubunganku dengan Ibu menjadi lebih baik.

Toh, bahagia itu pilihan, kan?

"Cara Allah itu lebih banyak dari yang kita duga. Tidak ada yang mustahil ketika kita bergantung pada-Nya. Tentunya kalian tahu ketika kalian berani sadar diri. Seberapa banyak hal telah kalian lakukan agar mereka yang kalian sayang tidak pergi. Allah tahu cara mendekatkan dua hati kembali tanpa dua hati tersebut tahu mereka telah kembali."

20 Sepetember 2018