Senin, 11 Februari 2019

Aku Sayang Bapak



17 Agustus 2016
       Sosok yang sangat kuat di mata anak-anaknya, sosok yang keras dan memikul beban paling berat di keluarga ini. Bapak. Orang yang kami panggil dengan sebutan Bapak adalah seseorang yang sebenarnya kami sangat sayangi. Dia harus berangkat pagi dan sore untuk menderes pohon enau demi membiayai segala keperluan rumah tangga dan sekolah kami anak-anaknya. Bapak adalah orang yang sangat keras dan sangat kami hormati juga kami takuti di rumah ini. Tapi, aku tak menyangka Bapak yang ku kenal keras ini bisa menangis.
          Sewaktu aku masih duduk di kelas 3 SMA, Bapak dan Mamak menungguku pulang sekolah di indekos dengan tujuan mengunjungiku. Handphone yang aku bawa saat itu dalam posisi mode diam. Bertepatan aku sedang ada tugas kelompok, aku pulang agak sore sekira jam setengah empat. Setelah pulang mengerjakan tugas kelompok, dijalan pulang aku membuka hp ku dan aku melihat ada 12 panggilan tak terjawab dari Bapak. Tepat didepan gerbang, saat itu Bapak meneleponku. “Ngapainnya kau kok lama kali pulang? Uda dari tadi pagi kami nunggu-nunggu kau pulang sekolah. Ditelepon bukannya diangkat!!”. Entah setan apa yang merasuki pikiranku waktu itu, aku menjawab Bapak dengan nada tidak sopan. “Aku baru pulang sekolah lo Pak! Tadi kami ada tugas kelompok!! Aku gak tau ada telpon karna hpnya....”
Ttutt ttuut ttuuut, panggilan diputuskan oleh Bapak. Saat itu, aku merasa sangat benci pada Bapak. Aku berpikir Bapak tidak pernah mengerti aku, dia hanya tahu memarahi, membentak, dan memukulku dengan begitu teganya. Aku sungguh tiada arti dimatanya, bahkan selama ini aku belajar keras untuk Bapak, agar Bapak bisa senang melihatku juara. Sekali lagi aku mencaci Bapak dalam hatiku karena merasa perjuanganku selama sekolah disia-siakan olehnya.

“Belajar yang betul, biar pinter dapat juara”, kata Bapak sewaktu dulu membimbingku belajar. Jika aku tidak belajar dia akan memukulku, jika aku menangis waktu belajar dia juga memukulku. Terakhir dia memukulku sewaktu aku pergi malam-malam dengan pacarku, ketika itu aku masih berada dikelas 3 SMP. Bukan karena diajak pacarku Bapak marah, dia tahu pacarku orang yang baik, tetapi karena aku pergi bersama sepupuku.Sepupuku perempuan nakal, dia berani kesana-kemari bersama lelaki, karena hal itulah Bapak marah kepadaku dan menghajarku.

“Berapakali Bapak bilang, jangan main sama Winda. Pergi malam-malam, gak tahu kemana. Mau jadi apa?! Hah?! Mau jadi apa kau?!” begitulah Bapak memarahiku sambil memukulku dengan ranting bunga raya. Mamak hanya bisa memelukku sambil bilang “Udalah Pak udah”.

Meski begitu aku tak berani menangis dihadapan Bapak, semakin aku menangis semakin kuat pula Bapak memukulku. Kaki dan punggungku merah-merah akibat tebasan ranting bunga raya. Mamak menuntunku berbaring dikamar lalu dia memelukku, saat itulah aku menangis sampai terisak. Mamak pun mengolesi kaki dan punggungku dengan minyak. Itulah terakhir Bapak memukulku, mulai kelas 1 SMK Bapak hanya memarahiku dan tak pernah pula Bapak membentakku.

Setiap Sabtu aku pulang ke rumah dan setiap hari Minggu aku kembali lagi ke indekos. Setelah kejadian Bapak dan Mamak mengunjungiku, pulanglah aku di hari Sabtu. Di rumah, Mamak menceritakan yang terjadi hari itu. Mamak bilang sudah dari pagi Bapak dan Mamak menungguku di indekos, dan karena menungguku mereka melewatkan makan siang mereka. Bapak meneleponku berulang-ulang tetapi tidak ada jawaban. Mamak juga bilang, bahwa mereka rindu padaku karena aku tidak pulang minggu kemarin dan mengunjungiku tanpa sepengetahuanku. Tapi ternyata mereka tidak bertemu denganku. 

Hari itu mereka merasa sangat tersakiti, belum lagi ketika aku di telepon membentak Bapak. Kata Mamak, Bapak menangis selesai meneleponku. Bapak sangat sedih karena merasa disia-siakan olehku. Menunggu dari pagi, melewatkan makan siang padahal Bapak punya sakit magh, tidak bertemu denganku tetapi malah dapat perlakuan tidak sopan, mungkin itulah yang dipikirkannya. Mendengar hal tersebut dari Mamak, seketika dadaku sesak. Aku orang yang suka menutupi kesedihanku, sehingga sangat jarang orang lain melihatku menangis mereka hanya tahu bahwa aku orang yang selalu berkisah bahagia tapi kenyataannya tidak. Bahkan didepan Mamak juga aku menutupi isak tangisku. Kristal bening keluar dari persembunyiannya dan kemudian mengalir ke pipiku. Aku merasa sangat bersalah mendengar penjelasan Mamak. Aku kemudian berjanji dalam hatiku, aku tidak akan membuat Bapak menangis lagi, aku akan membahagiakan orang tuaku. Aku tidak mau menjadi anak durhaka.

Pak, sebenarnya aku sangat menyayangi Bapak, tapi aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan rasa sayang itu. Bapak ingatkan waktu dulu Bapak sama Mamak meninggalkanku bersama Mbah? Bapak ingat waktu aku masih SD kelas 2, hari itu Bapak sama Mamak pergi membuka lahan di Teluk Kuantan? Baru 2 hari saja kita pulang dari Pekanbaru besoknya Bapak sama Mamak pergi lagi ke Teluk Kuantan?  Hari ketiga aku di sekolah baru yang begitu asing bagiku, ketika pulang sekolah tiba-tiba aku tidak sengaja melihat Bapak sama Mamak berada di gerobak mobil datsun. Firasatku mengatakan ini tidak beres. Aku menangis melihat mobil itu pergi membawa Bapak, aku mengejar mobil itu, tetapi mobil itu tidak mau berhenti. Uwak yang waktu itu baru pulang berbelanja dengan susah payah menahanku agar tidak mengejar mobil itu sambil memegangi belanjaannya yang hampir morat-marit dari keranjangnya. 

Aku menangis tidak karuan, mencoba menjatuhkan badanku saat digendong Uwak kemudian aku berguling-guling di tanah. Semua teman yang menahanku aku tendang. Waktu itu aku tidak ingin satu orang pun menghalangi kepergianmu. Aku menjerit “Bapak... Bapak... Bapak... Jangan pergi Bapak.. Gak mau aku gak mau.. Bapaaakk.. Mamakk.... Mak’ee Mamak mau kemana.. Jangan pergi..”, aku mengejar mobil itu dengan semua sisa tenagaku. Masih saja ada yang menahaniku, aku melompat-lompat mencoba melepaskan diri. Kemudian Bapak turun dari mobil itu, dan membiarkan mobil itu pergi membawa Mamak. Saat itu Bapak pulang bersamaku ke rumah Uwek. Bapak menyuruhku makan lalu tidur siang tetapi aku tidak mau karena aku takut Bapak akan pergi meninggalkanku lagi. Kemudian Bapak membuka baju yang sedang Bapak pakai dan menggantungkannya. Bapak bilang akan pergi ke sawah membantu Mbah yang sedang membanting padi. 

Aku pun tidur siang dan ketika aku terbangun aku melihat langit begitu mendung. Aku pamit pada Uwek ingin pergi menjemput dan membawakan payung untuk Bapak supaya Bapak ketika pulang tidak kehujanan. Aku pergi ke sawah sambil bernyanyi dengan hati yang sangat bahagia karena Bapak tidak jadi pergi meninggalkanku. Sesampainya aku di sawah, aku melihat Mbah yang sedang duduk di gubuk. Aku berjalan ke arah Mbah sambil melihat sekeliling, tidak ada tumpukan padi yang selesai di arit, tidak ada satupun tanaman padi, dan aku juga tidak melihat Bapak disana.

Di gubuk aku bertanya pada Mbah dimana Bapak. “Tapi wes bali neng Teluk Kuantan? (Tapi sudah kembali ke Teluk Kuantan?), jawaban Mbah mengagetkanku. Aku hanya bisa menangis tanpa menghiraukan Mbah, berjalan pulang dengan wajah basah dengan air mata. Menangis sepanjang jalan pulang, berbicara sendiri seperti orang tidak waras, menjerit tak kuasa menahan emosi. Aku melemparkan payungku dan kemudian mengambilnya lalu melemparkannya lagi kemudian aku ambil kembali. Aku merasa dibodohi oleh kepolosanku. Mengapa aku langsung percaya begitu saja? Waktu itu aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Sejak saat itu aku tinggal bersama Mbah. Mbah yang mengurusku dan menyekolahkaku. Mbah sangat judes, berkata semaunya kepadaku, tapi aku tahu dia menyayangiku.

Suatu hari, hal ini membuatku pindah dari rumah Mbah ke rumah Pak Tua (Abang dari Bapak). Ketika itu Bibiku sedang memasak, entah karena apa waktu Bibi memarahiku aku tidak ingat. Yang jelas dia hampir menempelkan sutil panas ke bibirku. Aku menangis dan kemudian Mak Tua bertanya kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar penjelasanku, Mak Tua langsung memarahi Bibi dan mengangkat semua baju-bajuku yang kemudian di pindahkan ke rumahnya. Sebenarnnya aku tidak setuju, tapi sudah terlanjur aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mengingat Mak Tua sudah memiliki 3 anak dan ia membuka kedai kopi, pasti sangat merepotkan di rumahnya. Sejak saat itulah kehidupan baruku yang sangat berbeda dari sebelumnya dimulai. Setiap pagi sebelum mandi aku harus mencuci tumpukan gelas baru aku bisa berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah aku juga harus berebut lauk makan dengan 2 anak Mak Tuaku. Anak pertama mereka sangat baik dan dewasa, yang bermasalah anak ke-2 dan ke-3nya. Anak ke-2nya laki-laki dan ia tidak pernah mau mengalah. Aku sangat tersiksa dengan perlakuan anak-anaknya. 

Aku ingin kembali ke rumah Mbah tidak mungkin, jika begitu aku pasti akan menyakiti perasaan Mak Tuaku. Aku takut dia bilang aku orang yang tidak tahu diri. Aku sangat dilema. Setiap hari kujalani hari-hariku sampai pada suatu ketika aku bertemu Bapak tapi entah dimana itu, aku tidak bisa mengingatnya hingga sekarang tapi baru saja aku mengedipkan mataku suasana sudah berubah. Ternyata aku bermimpi dan ketika aku bangun sudah banyak orang disekelilingku memegang tanganku. Aku melihat baju yang ku pakai adalah baju Bapak. Mengapa bisa begini? Kemana Bapak? Pertanyaanku dalam hati langsung terjawab ketika Pak Tua bilang “Udah bangun kau Nang? Sakit kau da, panas kali kau tadi.” Kira-kira sepuluh menit kemudian aku baru menyadari bahwa aku memang sedang sakit dan aku merindukan Bapak. Mbah bilang aku selalu mengigau tentang Bapak, aku selalu memanggil Bapak sampai aku terbangun. Aku hanya diam, bingung tak tahu apa yang harus aku lakukan dan aku katakan. Dari rumah inilah aku membangun sikap pendiamku. Aku menyimpan segala emosi di hatiku, menyimpan amarah kepada kedua sepupuku, menyimpan semua hal menyakitkan dalam hidupku, aku menyimpan semua yang menurutku menyedihkan jika orang lain mengetahuinya. 

Disekolah juga aku sempat menjadi kacung, tetapi ketika aku bersikap pendiam dan tajam tidak ada yang berani mendekat. Pernah suatu ketika entah karena apa, aku menggoreskan pisau ke tanganku hingga mengeluarkan darah. Aku menangis dan bertanya kepada teman-temanku “Apa karena Bapakku gak disini kalian semua suka-suka ngerjain aku?”, entah setan apa yang merasukiku waktu itu hingga aku berani berbuat yang tidak-tidak. Dari situ juga aku menyimpan amarah kepada teman-temanku. Aku tak mau dikalahkan, aku selalu ingin menang, aku membenci siapapun yang menghalangiku. Sifat egoisku muncul, setiap hari aku mengepalkan tanganku menahan dendam pada teman-temanku. “Bapak dimana kau, aku membutuhkanmu” bisikan hatiku yang merindukan sosok Bapak. Sifatku bertahan sampai aku kelas 1 SMK, walaupun saat itu aku telah bertemu denganmu kembali, aku tetap saja tidak bisa menghilangkan sifat itu.

08 Maret 2018
Aku pikir hari ini tanggal 7, yaitu 1 hari sebelum ulang tahunku. Tapi hari ini, umurku sudah 19 tahun. Aku ingin meneruskan ceritaku di hari ulang tahunku ini.

Aku menulis sebuah puisi untuk Bapak.
Senjamu tertutup gigih
Goresanmu penuh peluh
Terik menghajarmu

Tubuh kurus menopang insan
Sakit tak lagi pantas diucap
Ingatan pemberi yang santun

Air mataku terbaring mengering di bawah senja
Pena menangis hampir tak pernah berdusta
Bintang... bisa kau temani Ayah?

Aku melihat Ayah seperti matahari
Matahari yang tak pernah ingkar janji
Tapi semua tak lagi berarti

Surat kecil berisi lisan
Cinta yang kuuntai dalam taburan doa
Siapa hendak sampaikan?

Waktu tega membuatku dewasa
Bisakah aku bahagia tanpa Ayah?

Aku sudah kuliah megambil jurusan yang sama waktu aku SMK dulu, Akuntansi. Sudah semester 3 lamanya. Ketika aku melihat tubuhku, ketika aku melihat layar laptopku, ponselku, bajuku, aku hanya melihat itu semua sebagai keringat Bapak.

Aku membencinya karena mengingat masa laluku, tapi aku menangis melihatnya harus bekerja siang dan malam. Aku menangis melihat tubuh kurusnya, aku menangis mendengar ia menawariku membeli ponsel baru.

Sebenarnya perasaan apa ini?

Hari-hariku selalu dipenuhi ketakutan. Ketakutan akan ditinggal Bapak. Bapak telah menua, Mamak semakin rapuh sementara aku belum menjadi apa-apa. Bapak bekerja untuk makan dan membayar hutang.

Aku bahkan tidak berani memikirkan diriku dimasa depan.

Bagaimana caranya agar aku bisa membahagiakan Bapak? Bagaimana caranya agar aku bisa membantu meringankan bebannya saat ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar